Dalam rangka memperkuat upaya pencegahan eksploitasi seksual terhadap anak (ESA), sebuah workshop lintas sektor digelar di Jakarta pada 15 April 2025 yang menghadirkan aparat penegak hukum, lembaga perlindungan anak, organisasi masyarakat sipil, serta mitra internasional. Kegiatan ini tidak hanya menjadi forum berbagi praktik baik, tetapi juga menjadi ruang diskusi multipihak untuk sama-sama berefleksi mengenai kondisi perlindungan anak di Indonesia. Melalui diskusi terbuka, peserta membahas seperti apa tindak lanjut yang perlu diambil untuk memperkuat peran penegak hukum dalam mencegah kekerasan dan eksploitasi seksual anak secara sistematis dan berkelanjutan.
Workshop diawali dengan diskusi panel yang dipandu oleh Itsaraporn Daoram, Regional Coordinator for East, Southeast Asia & The Pacific dari ECPAT International. Beliau memaparkan temuan global terkait intervensi penegak hukum dalam pencegahan ESA serta menyoroti berbagai mitos yang masih beredar luas dan menghambat penanganan kasus secara tepat. Pembongkaran terhadap berbagai mitos menjadi fokus utama, sebagai langkah awal untuk menciptakan pendekatan perlindungan anak yang berbasis pemahaman menyeluruh dan tidak bias terhadap korban.
Selanjutnya, Rio Hendra memaparkan studi kasus berbasis lapangan dari hasil wawancara dengan aparat penegak hukum di Indonesia. Paparan ini mengungkap berbagai tantangan yang masih dihadapi, mulai dari keterbatasan pemahaman aparat terhadap perspektif korban, kurangnya pelatihan khusus, hingga hambatan koordinasi lintas sektor. Diskusi berkembang menjadi ruang refleksi kritis antar peserta mengenai sistem perlindungan yang sudah ada dan apa yang perlu diperbaiki ke depan. Para peserta menyepakati bahwa sinergi antar pemangku kepentingan, pelatihan berkelanjutan, serta dukungan kebijakan dan regulasi yang lebih progresif perlu menjadi fokus tindak lanjut.
Workshop ditutup dengan pemaparan dari AKP Marotul Aeni, S.H., Penyidik Unit IV Subdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, yang menyampaikan upaya preventif yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian. Beliau menyoroti pentingnya pengawasan terhadap ruang digital, peningkatan kapasitas penyidik dalam menangani kasus ESA, serta perlunya pendekatan yang berpihak pada korban. Beliau juga menjelaskan bentuk-bentuk kejahatan seksual terhadap anak di dunia digital yang saat ini semakin kompleks, serta bagaimana kepolisian beradaptasi dengan teknologi untuk mempercepat deteksi dan penanganan kasus.
Setelah rangkaian pemaparan selesai, kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi kelompok terfokus (FGD) yang melibatkan seluruh peserta untuk bersama-sama merefleksikan tantangan perlindungan anak di Indonesia dari berbagai perspektif. FGD ini menjadi ruang penting untuk mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut dan sinergi ke depan, serta membahas mitos-mitos lain yang muncul di masyarakat, seperti anggapan bahwa “kalau sayang harus telanjang ke pacar”, “interaksi lewat internet tidak akan berdampak di dunia nyata”, atau “joget-joget seksi yang direkam dan disebar itu keren karena mengikuti tren.” Pembahasan ini menegaskan pentingnya pendekatan edukatif yang menyasar norma sosial dan budaya populer yang membentuk persepsi anak dan remaja terhadap relasi dan seksualitas. Para peserta sepakat bahwa membongkar mitos dan membangun pemahaman kritis sejak dini adalah bagian penting dari upaya perlindungan anak yang berkelanjutan.